Periode 2002 – 2008 pasar senirupa kontemporer di Indonesia yang didominasi seniman muda mengalami booming luar biasa. Setelah krisis moneter 1998 Indonesia mengalami era reformasi. Tahun 2000 awal mulai muncul beberapa balai lelang lokal di Indonesia. Pasar tumbuh dengan bergairah. Harga karya seniman muda di balai lelang terus naik jauh melampui harga di pameran. Galeri-galeri aktif mengadakan pameran seniman muda dan diikuti penjualan yang sukses. Pengunjung dan pembeli di pameran membludak. Sering dalam pameran pembeli harus diundi karena 1 karya diminati beberapa kolektor sekaligus. Banyak kolektor dan broker akhirnya langsung menuju Yogyakarta dan Bandung yang merupakan kota basis seniman muda dan memborong lukisan yang ada di studio seniman.
Lalu terjadi krisis global tahun 2008. Pasar senirupa kontemporer mengalami kontraksi. Penjualan di pameran lukisan menjadi lesu. Harga di lelang mengalami koreksi. Yogyakarta yang merupakan basis kontemporer seniman muda juga mengalami kelesuan. Saat koreksi itu Uji Handoko yang termasuk kelompok Jogja Agro Pop bersama dengan Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Gde Krisna Widiathama, baru mulai berkiprah dan belum sempat merasakan terjadinya harga spektakuler di lelang dibanding beberapa seniman muda Indonesia lain seperti Masriadi dan kelompok Jendela. Lalu bagaimana strategi dan taktik kelompok Jogja Agro Pop bertahan dalam menghadapi kelesuan tersebut?
Karya ‘The New Prophet’ ini merupakan bagian dari Art Jog ke III tahun 2010. Art Jog adalah art fair tahunan yang mempertemukan karya seniman muda langsung dengan para kolektor tanpa melalui galeri dengan tujuan menggairahkan pasar seniman muda. Karya yang ditampilkan diperjualbelikan dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak seniman dan penyelenggara.
Art Jog 2010 berlangsung pada 16-29 Juli 2010 di Taman Budaya Yogyakarta, dengan tema Indonesia Art Now. Karya yang ingin ikut harus lolos seleksi komite dulu. Dalam Art Jog 2010 yang terpilih berjumlah 158 karya hasil seleksi dari 1.455 karya.
Dalam karya ini Hahan mengkomunikasikan keinginan dirinya dan banyak seniman muda di Yogyakarta untuk bisa ikut pameran bienalle berbobot dunia dengan bantuan dan arahan Kurator yang digambarkan sebagai The New Prophet. Saat itu di Indonesia kurator sebagai salah satu bagian kompleksitasnya ekosistem senirupa menjadi figur Playmaker penting perjalanan karier seniman muda. Karena kurator lebih memiliki akses jaringan ke institusi / lembaga seni dan pasar yang lebih luas dibanding seniman2 muda yang baru meniti karier. Kurator dianggap sebagai Jalan Keluar oleh banyak seniman muda dan peran kurator dalam kompleksitasnya dunia seni rupa belum tergantikan hingga saat ini.
Delapan tahun sejak karya The New Prophet ikut Art Jog 2010 Uji Handoko / Hahan sudah menjadi salah satu seniman muda Indonesia yang menonjol di dunia internasional. Harapannya untuk ikut bienalle berbobot sudah berhasil dia dapatkan. Karyanya malah dijadikan koleksi saat ikut Asia Pacific Trienalle VII tahun 2012 dan National Gallery of Victoria Trienalle 2018. Uji Handoko sudah pameran di hampir semua art fair regional dan salah satu peserta rutin Art Jog tiap tahun. Saat ikut Asia Pacific Triennale 2012 seorang kolektor Australia yang juga anggota dewan Museum Kontemporer Australia bernama Dr Dick Quan menemukan dan mulai mengoleksi karya-karya Uji Handoko. Dick Quan mencetuskan gerakan PRACCArt (Pacific Rim Aesthetic Climate Change Art). Melalui gerakan ini Dick Quan menyatakan seni kontemporer di seluruh dunia adalah equal secara estetika. Seni kontemporer Indonesia dan Australia bagian dari Asia Pacific melengkapi keanekaragaman seni kontemporer dunia dan sejajar dengan seni kontemporer Eropa dan Amerika.